🍆 Serangan Sultan Agung Terhadap Voc Di Banten Dan Batavia
Berikutadalah jawaban yang paling benar dari pertanyaan "serangan sultan agung terhadap voc di banten dan batavia pada tahun 1628 dan 1629, perlawanan sultan hasanuddin dari makassar pada tahun 1667, serta perlawanan pattimura di maluku pada tahun 1817 pada dasarnya merupakan bentuk reaksi atas kebijakan?" beserta pembahasan dan penjelasan lengkap.
Berikutjawaban yang paling benar dari pertanyaan: Serangan sultan Agung terhadap VOC di Banten dan Batavia pada tahun 1628 dan 1629, perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makassar pada tahun 1667, serta perlawanan Pattimura di Maluku pada tahun 1817 pada dasarnya merupakan bentuk reaksi atas kebijakan
Saatitu, Mataram hampir menguasai seluruh tanah Jawa, dan salah satu wilayah di Jawa yang belum dikuasai adalah Banten serta Batavia (Jakarta), yang menjadi markas VOC. Itulah salah satu alasan Sultan Agung menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Namun, ketegangan antara Mataram dan VOC sendiri telah berlangsung sejak Sultan Agung naik takhta.
3 Serangan sultan Agung terhadap VOC di Banten dan Batavia pada tahun 1628 dan 1629, perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makassar pada tahun 1667, serta perlawanan Pattimura di Maluku pada tahun 1817 pada dasarnya merupakan bentuk reaksi atas kebijakan. A. Penyebaran agama Kristen B. Campur tangan terhadap urusan kerajaan C. Monopoli perdagangan
Seranganpasukan Mataram terhadap VOC di Batavia terjadi pada tahun 1628 dan 1629. Dalam serangan pertama, pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Baureksa, bupati Kendal. Strategi serangan pasukan Sultan Agung di Batavia pada saat itu adalah dengan membendung Sungai Ciliwung agar benteng VOC kekurangan air.
PerlawananSultan Agung terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 telah menandai perjalanan panjang konflik kerajaan di Nusantara dengan Belanda yang dalam hal ini diwakili oleh VOC. Pertemuan pertama antara VOC dan Kerajaan Mataram terjadi ketika 22 september 1613, ketika sebuah kapal Belanda yang berisi utusan VOC merapat di dua pelabuhan milik Kerajaan Mataram yaitu Jepara dan kemudian Kudus.
MarkasVOC pernah bertempat di Banten, Ambon, hingga Batavia. Sultan Agung yang belum menyerah dengan gagalnya serangan pertama, ia kembali memerintahkan serangan terhadap VOC di Batavia. Serangan kedua yang dilakukan pada tahun 1629 ini dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya.
KerajaanMataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613 - 1645). Ia bercita-cita merebut Batavia dan mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Untuk melaksanakan cita-citanya itu, dua kali Sultan Agung menyerang Batavia. Serangan pertama terjadi pada tahun 1628. Sebagian dari tentaranya mendarat di Marunda, sebuah perkampungan nelayan di sebelah timur Cilincing. Di
Inilahsalah satu alasan Sultan Agung menyerang Batavia, karena dianggap sebagai penghalang untuk menguasai Banten. Selain itu, Sultan Agung menganggap kedudukan VOC di Batavia sebagai ancaman karena kerap menghalangi kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka.
2fyt4aU. - Adipati Pragola II adalah pemimpin Kadipaten Pati sekaligus saudara ipar dari Sultan Agung, pemimpin Kerajaan Mataram Islam 1613-1645. Meskipun masih memiliki hubungan saudara, Adipati Pragola II dalam sejarahnya pernah terlibat perang dengan Sultan Agung. Perang saudara inilah yang membuat Adipati Pragola II tewas pada 4 Oktober bagaimana kronologi perang saudara antara Adipati Pragola II dengan Sultan Agung? Baca juga Adipati Pragola I dan Kisah Perjuangannya Kronologi perang saudara Adipati Pragola II Ada ragam versi berbeda yang menceritakan tentang asal-usul Adipati Pragola sumber menyebutkan bahwa Adipati Pragola II merupakan putra dari Adipati Pragola I. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa Adipati Pragola II bukan putra dari Adipati Pragola I, melainkan putra dari Pangeran Puger atau Pakubuwana I. Terlepas dari perbedaan tersebut, catatan sejarah kompak menyebut Adipati Pragola II terlibat perang saudara dengan Sultan Agung. Hubungan saudara yang terjalin antara Pragola II dengan Sultan Agung dilatarbelakangi oleh pernikahan Adipati Pragola II dengan Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar, adik Sultan Agung. Pada masa kepemimpinannya, sang adipati menyatakan bahwa Pati dan Mataram sederajat. Oleh sebab itu, Adipati Pragola II enggan patuh terhadap Mataram.
Lukisan Sultan Agung dalam poster film Sultan Agung Tahta, Perjuangan, Cinta 2018. Sultan Agung diperankan oleh Ario Bayu. Dalam tiga tahun terakhir kekuasaannya 1610–1613, Panembahan Krapyak berusaha menaklukkan Surabaya. Ia sampai mengirim utusan kepada Gubernur Jenderal Pieter Both di Maluku untuk mengadakan persekutuan. Ia menganggap Mataram dan VOC punya musuh yang sama Surabaya. Ajakan itu membuat VOC dapat mendirikan pos dagang di Jepara di bawah pengawasan Mataram, tetapi masih tetap memiliki posnya di Gresik yang berada di bawah pengawasan Surabaya. “Lawan Krapyak yang paling kuat adalah Surabaya,” tulis sejarawan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Menurut Ricklefs, sebuah dokumen VOC dari tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai sebuah negara yang kuat dan kaya. Luas wilayahnya kira-kira 37 km, yang dikelilingi sebuah parit dan diperkuat dengan meriam. Konon pada tahun itu, Surabaya mengirim prajurit ke medan perang melawan Mataram, tetapi tidak terlihat adanya pengurangan penduduk yang nyata di kota itu –cerita ini mungkin berlebihan. Pada 1622, Surabaya menguasai Gresik dan Sidayu. Pengaruhnya meluas ke lembah Brantas sampai Japan Mojokerto dan Wirasaba Majaagung. Penguasa Sukadana di Kalimantan juga mengakui kekuasaan Surabaya. Kapal-kapal dagang Surabaya terlihat di seluruh kepulauan, dari Malaka sampai Maluku. Panembahan Krapyak meninggal dunia pada 1613. Ia digantikan anaknya, Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Sultan Agung melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Ia lebih dulu menaklukan daerah-daerah sekutu Surabaya Malang dan Lumajang 1614, Wirasaba 1615, Lasem 1616, Tuban 1619, Sukadana 1622, dan Madura 1624. “Dari tahun 1620 sampai 1625, Sultan Agung mengepung Surabaya dan membinasakan hasil-hasil panennya,” tulis Ricklefs. “Akhirnya, pada 1625 Surabaya berhasil ditaklukan, bukan karena diserang melainkan karena mati kelaparan.” Menurut sejarawan de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, strategi Sultan Agung menaklukan Surabaya dengan cara membendung Kali Mas, cabang dari Sungai Brantas. Hanya sebagian dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali. “Karena itu, penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut,” tulis De Graaf. Surabaya pun menyerah. Kota jatuh ke tangan penakluk dalam keadaan utuh. Laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 menyebutkan “Pada musim panas ini Surabaya menyerah kepada raja Mataram, tanpa perlawanan, hanya karena berkurangnya rakyat dan karena kelaparan, sehingga dari 50–60 ribu jiwa tinggal tidak lebih dari seribu.” Bahkan Daghregister, 1 Mei 1624, menyebut tinggal “500 jiwa, sisanya meninggal dan hilang karena keadaan menyedihkan dan karena kelaparan”. “Dengan jatuhnya Surabaya,” tulis De Graaf, “maka selesailah penaklukan bagian timur Jawa yang beragama Islam.” Pada saat Surabaya takluk, menurut Ricklefs, sudah muncul kekuatan baru di Jawa, yaitu VOC di Batavia. Sultan Agung lebih dulu mengarahkan perhatiannya terhadap musuh-musuhnya yang Jawa daripada VOC, tetapi perhatiannya akan segera beralih menghadapi orang-orang Eropa itu. Mataram Menyerang VOC di Batavia Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menyerang VOC di Batavia pada Agustus–November 1628. Serangan pertama itu gagal. Menurut De Graaf, ketika tidak melihat kemungkinan untuk merebut Batavia dengan penyerbuan mendadak, maka digunakanlah cara yang telah diuji keberhasilannya pada pertempuran di Surabaya, yaitu membendung sungai. Untuk itu, dipekerjakan orang, namun kemajuannya lamban karena mereka kelaparan dan serba kekurangan. “Mereka berusaha menimbulkan wabah penyakit pes,” tulis Willard Anderson Hanna dalam Hikayat Jakarta. “Akan tetapi, di kalangan pasukan Mataram sendiri beratus-ratus yang jatuh sakit dan meninggal, yang menambah penderitaan mereka.” Sutrisno Kutoyo, dkk., dalam Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia menyebut bahwa jika Sungai Ciliwung dapat dibendung, Kompeni tidak akan menyerah karena mereka tinggal di dalam benteng-benteng dan sudah mempunyai persediaan bahan makanan serta air yang dapat diambil dari sungai Untung Jawa yang bebas dari penjagaan prajurit Mataram atau Banten. “Mereka juga telah menggali sumur-sumur untuk mengatasi kekurangan air. Untuk pertahanan, sungai-sungai di dalam kota dihubungkan dan dipasang pintu-pintu air gejlegan yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Di tempat-tempat itu selalu dijaga dan di setiap sudut benteng didirikan bastilon atau cakruk sebagai rumah penjagaan,” tulis Sutrisno. Menurut sejarawan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, serangan kedua Mataram pada 21 Agustus–2 Oktober 1629 yang disiapkan lebih lama juga gagal. Penyebabnya, logistik Mataram dihancurkan VOC, angkatan lautnya lemah, dan jarak antara Jawa Tengah dan Batavia jauh, sehingga prajurit capai apalagi membawa meriam-meriam yang berat. Karena takut dihukum bila pulang tanpa kemenangan, cukup banyak pasukan Mataram yang menetap di sekitar Batavia yang kosong penduduknya, di antaranya di daerah yang sekarang bernama Matraman dari kata Mataram di Jakarta Timur. “Namun, kurang lebih lima puluh persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan peluru Belanda,” tulis Heuken. Sultan Agung memang gagal mengalahkan VOC. Namun, VOC sendiri kehilangan gubernur jenderalnya. Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera pada 20 September 1629.
- VOC Verenigde Oost-Indesche Compagnie atau Persekutuan Perusahaan Hindia Timur adalah kongsi dagang bentukan Belanda yang didirikan pada 20 Maret 1602. Organisasi ini memperoleh hak-hak istimewa dari parlemen Belanda, seperti hak monopoli dan hak kedaulatan sebagai suatu negara merdeka. Setelah mendapatkan hak tersebut, VOC berhasil melakukan intervensi dalam pemerintahan dan sedikit demi sedikit menguasai VOC yang sewenang-wenang kemudian menimbulkan perlawanan dari rakyat indonesia di berbagai daerah. Berikut ini beberapa perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah dalam mengusir VOC. Perlawanan rakyat Maluku Perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC dipimpin oleh Kakiali dan Talukabesi pada 1635-1646. Meski perlawanan tersebut dapat dipadamkan oleh VOC dengan cepat, hal itu tetap menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak tinggal diam dijajah. Kemudian pada 1650, Saidi mempimpin perlawanan rakyat Maluku. Perlawanan terhadap VOC juga terjadi di Tidore, dengan dipimpin oleh Sultan Nuku. Baca juga Kebijakan-Kebijakan VOC di Bidang Politik Perlawanan rakyat Makassar Perlawanan rakyat Makasar terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa. Saat terjadi perselisihan antara Arung Palaka dari Kerajaan Bone dengan raja Gowa, VOC langsung memanfaatkan kesempatan itu. VOC berhasil memanfaatkan Arung Palaka untuk menyerang Gowa pada 1666. Pada akhirnya, Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa dipaksa untuk menandatangani perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Berikut isi Perjanjian Bongaya antara Sultan Hasanuddin dengan VOC. VOC mendapatkan wilayah yang direbut selama perang Bima diserahkan kepada VOC Kegiatan pelayaran para pedagang Makassar dibatasi di bawah pengawasan VOC Penutupan Makassar sebagai bandar perdagangan dengan bangsa Eropa, selain VOC, dan monopoli oleh VOC Alat tukar/mata uang yang digunakan di Makassar adalah mata uang Belanda Pembebasan cukai dan penyerahan budak kepada VOC Kendati demikian, Perjanjian Bongaya baru terlaksana pada 1669 karena Sultan Hasanuddin masih melakukan perlawanan kembali. Perjanjian Bongaya telah memangkas kekuasaan Kerajaan Gowa sebagai kerajaan terkuat di Sulawesi. Rakyat Makassar, terutama Bugis, yang tidak menerima Perjanjian Bongaya kemudian mengembara menuju daerah lain di Indonesia, seperti Jawa dan Sumatera. Baca juga Keserakahan dan Kekejaman VOC Perlawanan rakyat Mataram Pada masa pemerintahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam, Belanda telah mendirikan kantor dagang di keduanya tidak dapat dihindari hingga VOC melancarkan serangan ke Jepara yang menimbulkan kerugian sangat besar bagi Mataram. Sultan Agung kemudian menyiapkan penyerangan terhadap VOC di Batavia sebanyak dua kali. Pada 22 Agustus 1628, pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Baurekso tiba di Batavia. Serangan pertama ini gagal dan tidak kurang dari seribu prajurit Mataram gugur dalam pertempuran. Mataram kemudian menyiapkan serangan kedua dengan dipimpin Kiai Adipati Juminah, Puger, dan Purabaya. Meski persiapannya telah matang, perlawanan rakyat Mataram terhadap VOC yang kedua ini kembali menemui kegagalan. Kegagalan ini disebabkan oleh VOC yang membakar persediaan makanan para tentara Mataram. Baca juga Sejarah Berdirinya VOC Perlawanan rakyat Banten Perlawanan Banten terhadap VOC terjadi sejak awal Belanda menginjakkan kaki di Banten. Perlawanan rakyat Banten terhadap VOC dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa pada 1656. Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC dilakukan dengan cara merusak kebun tebu, membantu perlawanan Trunojoyo, dan melindungi pelarian dari Makassar. Kerajaan Banten juga berhasil menguasai sejumlah kapal VOC dan beberapa pos penting. Pada 1680, Sultan Ageng kembali mengumumkan perang setelah terjadi penganiayaan terhadap para pedagang Banten oleh VOC. Sayangnya, di Banten sedang terjadi perselisihan antara Sultan Ageng dengan putranya, Sultan Haji, sehingga Belanda langsung memanfaatkan momen tersebut. Belanda mendukung Sultan Haji yang lebih mudah dipengaruhi untuk membantu kepentingan VOC. Akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan dan diasingkan, sementara Sultan Haji menjadi Raja Banten. Pada 1682, Sultan Haji terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda yang isinya sebagai berikut. VOC berhak atas monopoli perdagangan Banten menanggung semua ganti rugi perang Banten merelakan Cirebon kepada VOC VOC berhak ikut campur dalam setiap urusan Kerajaan Banten Pada 1695, kemerdekaan Kerajaan Banten telah diambil oleh VOC dan kedudukan Belanda di Jawa semakin kuat. Referensi Armelia. 2008. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Semarang ALPRIN. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
serangan sultan agung terhadap voc di banten dan batavia